Dr. Purwanto : Tatanen di Bale Atikan dan Kegundahan Ekologi
Disdik.purwakartakab.go.id -- Dr. Purwanto, Kepala Dinas Pendidikan Kabupaten Purwakarta sedang gencar-gencarnya menghunjamkan program Tatanen di Bale Atikan (TdBA) di lingkup SD & SMP Se-Kabupaten Purwakarta. Program ini tidak bukan adalah inisiasi-nya. Hasil refleksi kegundahan panjangnya soal ekologi.
Dalam beberapa kesempatan ngopi, sebagai contoh, ia selalu mengulang keresahannya soal masa depan pangan. Alih-fungsi lahan untuk menyokong industrialisasi, katanya, pelan tapi pasti mereduksi lahan-lahan pertanian. Tanah gembur berubah ‘wajah’ menjadi beton, coran dan aspal untuk hiruk-pikuk industri.
Belum lagi, perubahan mindset generasi ke-kini-an yang semakin jauh dari ranah pertanian. Tak banyak yang mau bertani. Mayoritas lebih memilih terserap di sektor industri dan/atau jasa.
Disadari atau tidak, keluh Dr. Purwanto, keduanya berkelindan satu sama lain. Dalam jangka pendek atau menengah, masalah yang timbul paling-paling hanya perubahan struktur ekonomi. Namun, dalam skala jangka panjang, keduanya akan berujung krisis pangan–yang implikasinya mengerikan.
“Ketika supply makanan masih ada, uang dan emas masih berharga. Dapat dijadikan alat pembayaran. Tapi, bagaimana kalau supply makanan krisis sejadi-jadinya? Apa masih berharga uang dan emas itu? Ngga!” katanya. Asap mengepul dari rokok yang dibakar. Kopi hitam di gelas masih panas.
Betul. Begidik juga rasanya. Bagaimana kalau hal tersebut betulan terjadi dekat-dekat hari ini? Tak terbayang besaran kekacauan (chaos) yang terjadi. Sebab, pada akhirnya, keberadaan sumber panganlah yang menentukan keberlangsungan hidup manusia. Bukan uang. Bukan emas.
Pendidikan Untuk Perubahan
Perubahan harus dilakukan. Tidak bisa tidak. Maka, ‘buah’ dari kegundahan ekologi Dr. Purwanto adalah program TdBA. Bahwa generasi ke depan, yang ndilalah melewati jenjang SD & SMP, harus dibekali khazanah pengetahuan berikut karakteristik baru.
“Pendidikan tidak hanya terbatas, apalagi selesai hanya pada aspek kognitif, afektif dan psikomotorik saja. Lebih dari itu, pendidikan pada akhirnya harus menjadikan kelas terdidik yang menyadari penuh (mindfull) siapa dirinya. Bagaimana relasi dia dengan Tuhan, sesama dan alam sekitarnya. Itulah substandi TdBA,” tegasnya.
Batang demi batang rokok sudah bertumpuk di asbak. Kopi sudah mau mulai tandas. Tinggal berapa seruput lagi dan habis sudah.
Terbayang, di ranah praksis, kegundahan yang dituangkan dalam TdBA tidak akan pernah mudah. Pertama, ia akan berbenturan dengan habitus (kebiasaan) lama yang bebal, entah di lingkungan sekolah atau masyarakat. Kedua, ia bahkan akan berbenturan dengan dirinya sendiri. Dalam hal ini, sangat mungkin TdBA terperangkap pada dimensi formal-administratif saja. Bukan substansi seperti yang di-insyafi Dr. Purwanto.
Tetapi, yang jelas, tawaran kakanda (beliau adalah kader HMI Purwakarta di masa mahasiswanya) ini adalah kebaruan yang perlu di-dukung, baik di tingkat diskursus maupun aksi pendidikan. Kita bisa membantu dengan jalan memperlebar amplifikasi. Sekurang-kurangnya, memberi-tahu bahwa TdBA adalah soal penyiapan masa depan generasi kita nanti.
Kecuali, anda haqqul yaqin bahwa krisis pangan cuma imaji saja. Tidak akan pernah terjadi. Nah, anda boleh diam-diam saja. Menikmati tayangan tv seperti biasa. Sambil melihat kias-kias berita beras import yang dianggap biasa saja. “Tenaang…masih bisa import!